Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hamidah: Otoritas, Kemandirian, dan Perjuangan Hak Asasi yang Tak Pernah Usai
Minggu, 1 Juni 2025 17:38 WIB
Permasalahan kesetaraan gender dari masa ke masa belum juga tertuntaskan, seperti maraknya kebudayaan patriarki
Otoritas dan kemandirian perempuan dalam sebuah karya sastra tidak hanya sebatas pada kehidupan pribadi. Namun juga dapat berhubungan pada ranah publik, seperti berkarier dan berhubungan sosial di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan eksistensi perempuan modern yang mampu menjadi perempuan karier, aktivis, maupun ibu rumah tangga.
Dalam novel yang ditulis oleh Fatimah H. Delais dengan judul Kehilangan Mestika banyak menggambarkan ketidaksetraan atau ketidakadilan gender yang dialami tokoh utama, yaitu Hamidah. Tokoh Hamidah merupakan perempuan tangguh kelahiran Sumatera Selatan, yang berusaha memperjuangkan hak asasi perempuan dengan berbagai macam usaha. Cacian dan makian selalu Hamidah terima semasa memperjuangkan hak asasi di tanah Sumatera.
Permasalahan mengenai gender bukanlah hal yang asing di seluruh dunia. Laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki sifat dan karakteristik tersendiri yang sudah melekat dalam dirinya. Sehingga sampai sekarangpun masih banyak ditemukan isu ketidaksetaraan gender. Gender merupakan atribusi sosial budaya yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu, seperti laki-laki itu kuat, perempuan itu lemah; laki-laki itu pemimpin, sementara perempuan adalah pengikut; laki-laki perannya ada di ruang publik, sementara perempuan perannya hanya ada di ruang privat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan lahirnya kesenjangan gender yang telah melahirkan banyak ketidakadilan.
Pihak perempuan merupakan pihak yang paling sering mengalami ketidaksetaraan gender, dikarenakan citra perempuan di kalangan masyarakat terpandang lebih rendah dari pada laki-laki. Maraknya ketidakadilan gender yang terjadi, maka muncullah gerakan yang dinamakan feminisme. Gerakan feminisme muncul sebagai bentuk usaha mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan.
Hamidah merupakan perempuan pertama yang bekerja dan membuka pingitan bagi gadis-gadis di kampungnya. Sebab hal inilah Hamidah langsung mendapatkan cacian dan makian dari masyarakat di kampungnya. Namun Hamidah tidak peduli, dan tetap berjalan teguh dalam pekerjaan sebagai seorang pengajar.
Hamidah juga tampil sebagai perempuan progresif yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai kunci pembebasan. Hal ini tercermin jelas dalam tindakan-tindakan Hamidah yang tidak hanya berusaha mencerdaskan dirinya sendiri, tetapi juga terlibat aktif dalam menciptakan ruang belajar bagi perempuan di sekitarnya. Budaya patriarki yang tertanam kuat dalam masyarakat sering kali menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk berkembang secara bebas. Salah satunya Tradisi pingitan, yaitu larangan bagi gadis-gadis untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan laki-laki yang bukan keluarga.
Dalam novel Kehilangan Mestika, tokoh Hamidah digambarkan sebagai perempuan yang berani menentang tradisi tersebut dan berupaya melakukan perubahan budaya di lingkungannya. Budaya ini dianggap sebagai kewajiban oleh masyarakat saat itu, bahkan sering disamakan dengan ajaran agama.
Secara garis besar, kritik feminisme memberikan upaya pembebasan terhadap stigma masyarakat yang pada umumnya beranggapan bahwa perempuan memiliki kedudukan di bawah kelas laki-laki.
Teori ini terbuktikan oleh tokoh Hamidah dalam novel Kehilangan Mestika yang memperjuangkan hak-hak identitas gender, ekspresi seksual, dan gaya hidup Perempuan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Ketidakteguhan Iman Merujuk Kematian: Kisah Kakek dalam Cerpen Robohnya Surau
Selasa, 3 Juni 2025 13:49 WIB
Hamidah: Otoritas, Kemandirian, dan Perjuangan Hak Asasi yang Tak Pernah Usai
Minggu, 1 Juni 2025 17:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler